1. Konsep Sosiologi
Sosiologi sendiri berasal dari bahsa latin, yaitu "socius" yang
berarti kawan atau teman sedangkan "logos" berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan pertama kalinya dalam buku yang berjudul Cours De Philosophie
Positive karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang
sosiologi, pada umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang
masyarakat.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang
memiliki hubungan kepentingan bersama, dan budaya. Sosiologi hendak mempelajari
masyarakat dan perilakunya, serta perilaku sosial manusia dengan cara mengamati
perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai suatu ilmu, sosiologi merupakan
pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan
dapat dikontrol oleh orang lain atau umum.
Dalam kajian sosiologi sangat sukar
merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang mengemukakan keseluruhan
pengertian, sifat, dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat.
Oleh sebab itu, suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai pegangan sementara.
Meskipun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan tumbuh ke arah
berbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian yang pokok dan
menyeluruh.
Untuk patokan sementara, akan diberikan
beberapa definisi sosiologi menurut Soekanto (1989:15-16), sebagai berikut:
-
Pitirim
Sorokin : Mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial
(misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum
dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya); hubungan dan
pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial
(misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya); dan ciri-ciri umum dari
semua jenis gejala sosial.
-
Roucek
dan Warren : Mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara manusia dalam kelompok-kelompok.
-
William
F.Ogburn dan Meyer F.Nimkoff : Berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat
stabil.
-
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi : Menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu
masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut mereka,
struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang
pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial,
kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial.
Proses
sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama,
misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan kehidupan
politik, kehidupan hukum dengan kehidupan agama, dan kehidupan agama dengan
kehidupan ekonomi. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah saat
terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
-
Astrid
Susanto : Mengemukakan bahwa sosiologi ialah suatu ilmu mengenai das Sein dan
bukan das Sollen. Sosiologi meneliti masyarakat serta perubahannya menurut
kenyataan. Sehubungan dengan perkataan “sosiologi, perkataan “sosial” harus
ditinjau semua kegiatan yang ada hubungannya dengan masyarakat luas, sesuai
dengan perkataan asalnya socius yang berarti teman. Semua ini menunjukkan bahwa
sosiologi banyak berhubungan dengan filsafat, sejarah, dan politik karena
sosiologi sebenarnya mempelajari gejala hubungan antarmanusia (Latin:
socius=kawan); sedangkan ilmu, ia memperoleh sistematika (Logos=menurut aturan
dan susunan) di kemudian hari.
Dengan demikian,
sosiologi adalah ilmu yang hendak mengerti dan menjelaskan tindakan-tindakan
sosial manusia yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.
Dari berbagai
definisi untuk sosiologi sebagai pengertian yang konsepsional dengan yang
bersifat pragmatif tersebut, maka dapat disimpulkan:
-
Sosiologi
merupaka suatu ilmu sosial, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun
ilmu kerohanian. Perbedaan tersebut membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang
bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Itulah yang membedakan
sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi, dan ilmu pengetahuan yang
dikenal.
-
Sosiologi
bukan merupakan disiplin normatif, melainkan disiplin kategoris yang artinya
sosiologi membatasi diri pada peristiwa yang terjadi dewasa ini, bukan
peristiwa yang terjadi atau seharusnya terjadi. Sebagai suatu ilmu pengetahuan,
sosiologi membatasi diri terhadap persoalan penilaian, artinya sosiologi tidak
menetapkan kearah sana mengenai sesuatu yang seharusnya berkembang, dalam arti
memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan
kemasyarakatan dan politik. Akan tetapi, pandangan-pandangan sosiologis tidak
dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar atau salah,
serta segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sosiologi dapat menetapkan bahwa suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat
memiliki nilai-nilai tertentu, tetapi selanjutnya tak dapat ditentukan
bagaimana nilai-nilai tersebut seharusnya. Di sini, sosiologi berbeda dengan
filsafat kemasyarakatan, filsafat politik, etika, dan agama.
-
Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science), bukan merupakan ilmu
pengetahuan terapan atau terpakai (applied science). Ilmu pengetahuan yang
murni adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan
ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa
menggunakannya dalam masyarakat. Ilmu terapan atau terpakai adalah ilmu
pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menetapkan ilmu pengetahuan
tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat. Adapun
tujuan sosiologi adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya
tentang masyarakat, dan bukan untuk mempergunakan pengetahuan tersebut terhadap
masyarakat.
-
Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan ilmu pengetahuan yang konkret.
Artinya, yang di perhatikannya bukan bentuk dan pola-pola peristiwa dalam
masyarakat, melainkan wujudnya yang konkret.
-
Sosiologi
bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum
dari interaksi antarmanusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi, dan
struktur dari masyarakat manusia.
-
Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional sesuai metode yang di
pergunakannya.
Menurut
Harry M.Johnson (1967), sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya
adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri
karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri
utamanya adalah :
1.
Sosiologi
bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada
observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, serta hasilnya tidak bersifat
spekulatif.
2.
Sosiologi
bersifat teoritis yang berarti ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk
menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan
kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk
menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
3.
Sosiologi
bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar
teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta
memperhalus teori-teori yang lama.
4.
Sosiologi
bersifat non-etis yang berarti yakni dipersoalkan bukanlah baik-buruknya fakta
tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara
analitis.
Sosiologi
meneliti kehidupan manusia sebagai kenyataan. Ini berarti bahwa dari berbagai
kejadian yang nyata secara logis dan sistematis. Adapun yang dijadikan bahan
penelitiannya ialah segala sesuatu yang di duga merupakan kenyataan dan terjadi
secara berulang.
Rolland
J. Pallegrin yang dikutip Susanto (1985: 4) bahkan mengatakan bahwa pendekatan empiris dari
sosiologi inilah yang memberi ciri khas kepada sosiologi dan membedakannya dari
ilmu sosial lainnnya.
Sosiologi
mempelajari tindakan manusia dalam kelompok hidupnya. Selanjutnya dalam
kehidupan kelompok, manusia pada umumnya mengikuti kehidupan kelompoknya untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku. Usaha individu atau kelompok untuk
menyesuaikan diri ataupun melawan usaha keseragaman oleh kelompok ataupun
masyarakat luaslah yang merupakan bahan penelitian bagi berbagai ilmu sosial
lainnya.
Perbadaan anatar sosiologi dengan ilmu sosial lainnya
diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama
terletak pada pendekatan penelitiannya. Sosiologi menganalisis dan meneliti
kelompok seakan-akan merupakan “sesuatu”, suatu “objek” yang mempunyai ciri
khas, walaupun ia mengetahui bahwa bidang penelitian sebagai hubungan antar
manusia, sebenarnya bukan sesuatu yang dapat dibatasi dengan nyata. Pendekatan
ini didasrkan perlu untuk dapat memperoleh keterangan- keterangan tentang
struktur, fungsi dan hubungan dari bagian-bagian keseluruhan kehidupan manusia.
Kenyataan
bahwa yang menjadi objek penelitian sosiologi hubungan bukan sesuatu yang dapat
dilihat, melainkan hanya di ketahui sebab dan akibatnya menyebabkan penelitian
sosiologi mengalami banyak kesukaran. Salah satu kesukaran adalah bahwa manusia
yang berhubungan serta tindakannya yang diselidiki tidak dapat diteliti secara terisoslasi
dari lingkungan dan pengaruh-pengaruh terhadap dirinya, seperti pengaruh masa
lampau, pengaruh kebudayaan, pendidikan dan seterusnya.
Oleh
kerena itu dari pendekatan ini sosiologi tidak dapat menbarik kesimpulan dari
satu atau dua kejadian saja melainkan dari kejadian yang terjadi secara
berulang-ulang serta teratur.
Menurut
Pellegrin (1964:17), sosiologi meneliti berbagai bidang yang ditemukan secara
berulang dalam kehidupan manusia dan telah merupakan keteraturan yaitu:
1.
Masyarakat;
2.
Kebudayaan;
3.
Lembaga-lembaga
dan kelengkapannya;
4.
Diferensiasi
sosial;
5.
Kehidupan
kelompok;
6.
Pengawasan
dan pengandalian sosial;
7.
Perubahan
masyarakat;
Menurut Margaret Wilson (Susanto, 1985:6) tema sosiologi yang menjadi
pemikiran ahli-ahlinya antara lain;
1.
Manusia
sebagai makhluk sosial:bagaimana hubungan dengan masyarakat?
2.
Proses
sosial dan ketentuan-ketentuan sosial:apakah masyarakat itu serta bagaimana
pembentukannya?
3.
Struktur
sosial:bagaimana masyarakat di atur dan ditertibkan?
4.
Kelangsungan
hidup dan kelompoksosial: apakah unsur-unsur pengawasan sosial menjamin
kelangsungan hidupkelompok/masyarakat, serta bagaimanakah individu paling
efektif diawasi oleh masyarakat?
5.
Perubahan
masyarakat:apakah yang menyebabkan, faktor-faktor manakah yang menetukan dalam
proses ini dan bagaimana mengatasinya?
6.
Sosiologi
serta metode: apakah sosiologi itu , apakah dasar penelitiannya, metode manakah
yang terbaik baginya?
Dari
berbagai pernyataan di atas dan yang sering di bahas di dalam buku-buku
sosiologi antara lain:
1.
Proses
sosial, berbagai tema yang berhubungan dengan proses sosial yang asosiatifdan
disosiatif;
2.
Kelompok
sosial yang membicarakan anekaragam bentuk kelompok sosial dan fungsinya;
3.
Kebudayaan
dan masyarakat yang membahas anekaragam nilai-nilai yang terkandung dalam cipta,
rasa dan karsa manusia dalam masyarakat;
4.
Lembaga
kemasyarakatan yang ada dan menangani aneka ragam fungsi dalam kehidupan
bermasyarakat;
5.
Pelapisan
sosial yang menggambarkan strata struktur dan susunan sosial masyarakat yang
terbentuk atas dasar peran dan kedudukan manusia dalam masyarakat;
6.
Kekuasaan
dan wewenang, yang membahas batas-batas tugas dan fungsi seseorang dalam
masyarakat dan sumber-sumbernya;
7.
Perubahan
sosial budaya yang membahas hakikat sumber dan sebab perubahan, pandangan
terhadap perubahan, serta perubahn yang bersifat progress dan regress.
Berikut merupakan objek yang dibahas dalam
sosiologi;
1.
Objek
meterial yaitu kehidupan sosial, gejala-gejaladan proses hubungan antar manusia
yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri;
2.
Objek
formal lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat.
Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan sosial antarmanusia
serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat;
3.
Objek
budaya merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi hubungan satu dan
lainnya;
4.
Objek
agama yang dapat menjadi pemicu dalam hubungan sosail masyarakat, dan banyak
juga aspek lain atau pun dampak yang memengaruhi hubungan manusia.
Konsep-konsep
dalam sosiologi memiliki ciri khas tersendiri untuk dikaji sehingga memiliki
karakteristik yang berbeda. Aguste Comte pun mengatakan sosiologi sebagai “ratu
ilmu sosial”.
2. Media
Media merupakan bentuk jamak dari kata
medium. Dalam ilmu komunikasi, media bisa diartikan sebagai saluran, sarana
penghubung, dan ala-alat komunikasi. Kalimat media sebenarnya berasal dari
bahasa latin yang secara harafiah mempunyai arti perantara atau pengantar.
Media merupakan salah satu bagian esensial
yang tak dapat dipisahkan dari era postmodernisme. Pengaruh postmodernisme yang
hampir menjangkau seluruh lapisan, tidak dapat dilepaskan dari peran media.
Media memiliki kekuatan untuk menenggelamkan realitas, menyederhanakan berbagai
isu, dan mempengaruhi berbagai peristiwa.
dampak media dalam beberapa hal sering kali
dapat bersifat positivmaupun negatif. sama halnya seperti pisau, tergantung
orang yang menggunakan atau menyikapinya. Media yang dimaksud di sini tidak
hanya media elektronik, seperti televisi, radio, internet, iklan, akan tetapi
juga surat kabar (koran), majalah, jurnal, seminar, diskusi, bahkan barang
mewah (bermerek) juga merupakan bagian dari media. Elemen-elemen tersebut
memiliki peran strategis dalam peradaban global.
Media berfungsi menyebarkan opini publik yang
menghasilkan pendapatan atau pandangan yang dominan, sementara individu dalam
hal menyampaikan pandangannya akan bergantung pada pandangan yang dominan,
sedangkan media pada gilirannya cenderung memberitakan pandangan yang
terungkap.
2.1 Perspektif Sosiologi
terhadap Media
perspektif sosiologi
merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang kehidupan
masyarakat dengan segala aspek atau proses social kehidupan di dalamnya. Dalam
ilmu sosiologi terdapat dua perspektif besar yang memandang masyarakat dari
sisi yang berlawanan yaitu positivisme dan fenomenologi.
Kedua perspektif ini merupakan cikala bakal ataupun ataupun akar dari
berbagai perspektif sosiologi lainnya. positivisme yang dipelopori Aguste Comte
memandang bahwa semua pengetahuan harus berdasarkan pada ilmu semua pengetahuan
harus berdasarkan pada ilmu (science) atau dengan pemikiran ilmiah dengan
tujuan untuk menemukan hukum-hukum umum. Adapun teori-teori yang paling dominan
dalam perspektif makro adalah teori-teori yang menekankan integrasi dan harmoni
dan teori-teori yang menekankan konflik.
Positivisme masuk kedalam kelompok besar strukturalisme yang mengacu pada analaisis
sosiologi makro yang melihat masyarakat secara keseluruhan, dan bagaimana
masyarakat tersebut terstruktur dengan asumsi pokok bahwa ada suatu sistem
nilai dalam masyarakat yang mengatur perilaku masyarakat.
Setiap individu mempelajari berbagai aturan
norma dan kepercayaan melalui proses sosialisasi di masyarakat sampai akhirnya
mengalami proses internalisasi mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku
baik atau buruk benar atau salah dan sebagainya. Ketaatan pada aturan tersebut
merupakan prasyarat masyarakat agar dapat bertahan secara terintegrasi, stabil
dan dinamis.
Sedangkan fenomenologi oleh Edmund Husserl
dan Alfred Schutz menentang pendekatan positivisme, karena hukum-hukum seperti
itu bersifat ilusif, yang akhirnya terjarat pada determinisme. Menurut ahli
fenomenologi, perilaku manusia tidaklah sepenuhnya di atur oleh hukum-hukum
ekternal.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara
pendekatan Positivisme dan fenomologi diantaranya adalah pada Positivisme
melihat sesuatu dengan pendekatan struktur atau pendekatan makro, yaitu
bagaiman struktur memengaruhi perilaku manusia. Sedangkan pendekatan
fenomonologi mengambil sekala kecil sebagai point of entry, dengan menekankan
pada sosial action, bukan pada struktur yang abstrak.
Perspektif sosiologi dapat mempengaruhi
jalannya media. Media ini bisa banyak macam dari media cetak maupun media
elektronik. Dalam berbagai tayanggannya media dapat berisi berbagai konten yang
dipengaruhi oleh perspektif sosiologi.
2.2 Perspektif Fungsionalis Terhadap Media
Dalam perspektif fungsionalis
masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara
terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat
aturan dan nilai yang di anut. Talcott Parsons, Kingslay Davis dan Robert
Merton sebagai para juru bicara yang terkemuka, setiap kelompok atau lembaga
melakukan tugas tertentu dan terus menerus karena hal itu fungsional.
Perubahan sosial mengganggu keseimbangan
masyarakat yang stabil namun tidaklah lama, muncullah keseimbangan yang baru. Sebagai
contoh, dalam sebagian besar sejarah, keluarga besar sangat di dambakan.
Tingkat kematian tinggi dan keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya
beberapa yang selamat.
Khususnya di Amerika, suatu benua yang cukup
luas yang belum cukup memiliki tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaan,
secara fungsional keluarga besar bermanfaat. Namun dengan padatnya penduduk
dunia dan tingkat kematian rendah keluarga besar bukan lagi menjadi rahmat.
Dengan kata lain keluarga besar menjadi gangguan
fungsional dan mengancam kesejahteraan masyarakat. Maka keseimbangan baru
sedang dalam proses dimana, ganti tingkat kematian dan tingkat kelahiran yang
tinggi. kita akan kita akan mengalamui tingkat kematian dan kelahiran yang
rendah. Jadi suatu nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat
menjadi fungsional atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda.
Teori
komunikasi massa sangat di butuhkan untuk memberi penjelasan tentang peranan
media dalam sebuah sistem. Lahirlah teori fungsional pada tahun 1950-1960 an.
Melalui teori fungsionalisme ini pengaruh dari komunikasi massa dalam kehidupan
sosial di dunia bisa dijelaskan dan dipahami, dan pada saat yang sama efeknya
dapat dibatasi oleh fungsi bagian lain dari sebuah sistem.
Media
dalam kacamata fungsionalisme merupakan pemegang penting dan memberikan suatu
pengaruh pada sistem sosial yang besar.
Pengaruh-pengaruh tersebut diantaranya:
-
Media
dapat menguatkan masyarakat. Sebagai agen sosialisasi media meningkatkan
perpaduan secara sosial dengan meperkenalkan secara umum budaya-budaya yang baru.
-
Media
dapat menguatkan norma-norma sosial. Media menguatkan perilaku yang pantas
dengan menunjukan apa yang terjadi, kepada orang-orang yang melanggar
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tengah suatu masyarakat.
-
Media
dapat memberikan status .
-
Media
dapat meningkatkan perilaku konsumtif. Dengan periklanan di media yang
mendukung perekonomian dan berbagaiinformasi yang dibutuhkan.
-
Media
dapat memberikan berbagai informasi tentang lingkungan masyarakat sekitar.
Fungsionalisme memiliki asumsi bahwa apapun yang ada dalam sistem
merupakan sesuatu yang bebas nilai. sehingga secara langsung fungsionalisme
menawarkan suatu cara pandang perihal keseimbangan peran media dalam
masyarakat. Fungsionalis berargumentasi bahwa ilmu sosial tidak memiliki basis
dan kebutuhan untuk membuat penilaian atas media, karena dalam praksisnya
Merton menganggap media memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifes dan dan fungsi
laten.
beberapa kekuatan fungsional adalah, Posisi media dan pengaruhnya di
dalam sebuah system sosial yang lebih luas, Menawarkan pandangan yang seimbang
tentang peran media dalam masyarakat dan didasarkan pada penelitian empiris dan
panduan.
2.3 Perspektif Konflik Terhadap Media
Perspektif konflik secara
luas di dasarkan pada karya Karl Marx, yang melihat peretentangan dan
eksploitasi kelas sebagai penggerak utama dari kekuatan-kekuatan sejarah.
Perspektif konflik ini pada mulanya banyak di abaikan oleh para sosiolog atau
bisa di katakan bergerak di tempat saja tanpa ada yang mengembangkannya lebih
lanjut.
Namun pada akhirnya sekarang ini perspektif
konflik di bangkitkan kembali oleh para tokoh sosiologi diantaranya oleh
C.Wight millis, Lewis Coser, Aron, Dahendrof, Chambliss,Collins. Mereka
membangkitkan kembali perspektif konflik yang didasarkan oleh karya Karl Max.
Para teoritis konflik melihat
bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan
kelas. Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas
untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif. Namun para teoritis berpandangan
suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau
kelas yang dominan.
Mereka menganggap bahwa
nilai-nilai bersama yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan
pemersatu tidaklah benar-benar konsensus yang benar. Sebaliknya konsensus
tersebut adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan
nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang.
Menurut para teoritis konflik, para
fungsionalis gagal mengajukan pertannyaan”secara fungsional bermanfaat untuk
siapa”. Teori konflik ini menolak anggapan bahwa manusia berada dalam kondisi
stabil dan tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat dilihat dalam suatu kondisi
tidak seimbang atau tidak adil, dan keadilan atau keseimbangan dapat digunakan
dengan menggunakan kekuatan revolusi terhadap kelompok-kelompok yang memegang
kekuasaan.
Dalam masyarakat industri kapitalis, Marx dan
Engels menyebut para pengusaha sebagai kaum borjuis atau kapitalis, dan karyawan
atau buruh sebagai kaum proletar yang tertindas. Keduanya bersifat
antagonistik, yang pada akhirnya menyebabkan kaum proletar melakukan perlawanan
dalam bentuk revolusi.
Padaera reformasi, media Indonesia mempunyai
kebebasan berpolitik, berpendapat, berdemokrasi juga berekonomi. Yang
sebelumnya terkekang pada masa era orde baru. Para pemilik modal di belakang
media merupakan kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau
ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen
perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Belakangan hegemoni itu, terutama media
televisi, makin disemarakkan perayaan hedonisme dan upaya memuaskan mayoritas
yang diam tadi. Teks budaya yang dihidangkan media merupakan teks yang jauh
dari pemenuhan nilai estetis. Program berita menjadi tidak percaya diri dan
ikut berlomba laksana program infotainment demi memburu rating dan share. Pemunculan kasus video porno mirip artis di
seluruh program berita di televisi menjadi pembuktian matinya nilai estetis dan
objektivitas yang selama beratus-ratus menjadi nilai sakral para jurnalis.
Kepemilikan Media sekarang ini banyak di
kuasai oleh beberapa orang saja.contohnya di Indonesia, Stasiun televisi yaitu
MNC TV, RCTI, Global TV. Ketiga stasiun TV tersebut adalah milik salah satu
politisi di Indonesia. hal itu dapat berbahaya jika, media dipakai untuk bahan
politik kepentingan pribadi atau kelompok. Informasi yang di sajikan di media
tersebut bisa saja bersifat subjektif membela kepentingan pemilik. Bukan lagi
bersifat objektif.
Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini
adalah. Media di gunakan sebagai alat pembentuk citra atau image oleh sebagian
pemilik media yang ikut serta dalam pesta politik. Mereka menggunakan media
iklan, Talkshow, serta kuis di dalamnya untuk berkampanye atau membentuk citra
diri maupun partai yang tentu pasti sifatnya itu subjektif bukan objektif.
Media yang seharusnya menjadi ruang publik
berubah menjadi ranah pribadi. Tempat masyarakat memperoleh berbagai macan
informasi yang tepat dan akurat. Bukan malah memilih kepentingan golongan.
TVRI pun seharusnya sudah membuka diri
sebagai sebuah televisi swasta yang isi tampilannya benar-benar untuk
kepentingan publik bukan hanyadi gunakan untuk corong pemerintah saja. Yang
sekarang ini masih tetap berjalan.
KPI diharapkan lebih berani dalam mengawasi
dan mengembalikan kembali ranah publik media sebagai cita-cita awal yang di rampas
oleh kepentingan pemilik modal atau penguasa. Sehingga penayangan media bisa
menjadi lebih hati-hati. Konten yang di tayangkan pula tidak menjurus pada
konsep ras, agama, dan gender. Dan juga dapat membuat wacana-wacana yang lebih
bermakna lagi (informatif dan berimbang ) kepada khalayak umum atau publik.
Pengawasan ini pula dapat mencegah adanya
dampak buruk pada tayangan-tanyangan yang di sampaikan media kepada khalayak
yang dapat menimbulkan atau membuat konflik di tengah masyarakat. Contohnya
dalam memberitakan hal yang sangat sensitif seperti:
- - Gender.
- - Ras.
- -etnis
dan
- - kelas sosiol.
Haruslah melawati proses gatekeeping yaitu
bagaimana materi harus melewati berbagai pemeriksaan yang ada sebelum berbagai
informasi tersebut disampaikan kepada publik. Gatekeeping dapat dilakukan oleh
KPI sebagai lembaga penyiaran Indonesia yang mengawasi penyiaran di Indonesia.
Teori
Hegemoni Media, hegemoni didefinisikan sebagai dominasi satu kelompok terhadap
kelompok lainnya dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga idea-idea yang
disampaikan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima
sebagai sesuatu yang wajar.
Dalam
hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang
didominasi untuk menerima nilai-nilai moral,
politik, dan budaya dari kelompok dominan.
Penerapan
hegemoni media agak sulit di lakukan sehingga dalam pelaksanaannya hegemoni
media secara perlahan-lahan memperkenalkan, membentuk dan menanamkan pandangan
tertentu pada khalayak. Peran media adalah untuk membangun dukungan masyarakat
dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka dengan menciptakan
sebuah pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan.
Menurut
paradigma hegemoni, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan
ketaatan. Pada abad ke 21 ini perkembangan industri media berjalan sangat
cepat. Banyak media yang besar dan untuk kepemilikannya terkonsentrasi atau
bisa di sebut memusat hanya ada pada beberapa kalangan saja.
Pengaruh
media dari individu ke masyarakat. Dengan media setiap bagian dunia bisa saling
terhubung tanpa adanya batasan lagi. Atau biasa di sebut dengan Global Village.
Dengan media kejadian apapun dimanapun dengan cepat bisa di ketahui oleh
berbagai negara, kota, atau desa.
Keberadaan
media dimana-mana dan juga periklanan telah mengubah pengalaman sosial dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Kebudayaan masyarakat tidak terlepas dari
media, dan budaya itu sendiri direpresentasikan dalam media.
Eksploitasi
pers dan media sekarang ini telah menuju kearah penciptaan supremasi media yang
mengancam keberadaan cara pandang objektif dan ruang publik. Hal ini sesuai
dengan pandangan teori hegemoni yaitu peran media bukan lagi sebagai pengawas
pemerintah, tetapi justru menopang kaum kapitalis dengan menyebarkan
pemikiran-pemikiran mereka. Media secara perlahan-lahan memperkenalkan,
membentuk dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak.
Tidak
hanya urusan politik dan ekonomi saja, melainkan dapat menyangkut beberapa
unsur lain yaitu diantaranya menyangkut masalah budaya, kesenian bahkan
menyangkut ke hal yang lebih ringan sekalipu yaitu menyangkut tentang gaya
hidup.
Seseorang
pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya
memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan
tanggung jawab. Kajian literasi media menyediakan pengetahuan, informasi, dan
statistik tentang media dan budaya, serta memberi pengguna media dengan satu
set peralatan untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra
yang disampaikan dan dijual oleh isi media massa.
Tujuan
dasar literasi media ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk
menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan
komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa
yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau
citra itu.
Dalam
upaya menyikapi pengaruh buruk dan hegemoni media massa, saat ini berkembang
pemikiran tentang media literasi. Kajian ini merupakan gerakan penting di
kalangan kumpulan-kumpulan advokasi di negara maju untuk mengendalikan
kepentingan dan pengaruh media massa dalam kehidupan individu, keluarga dan
masyarakat serta membantu kita merancang tindakan dalam menangani pengaruh
tersebut.
Misalnya
Amerika yang seolah negara terkuat, superhero, penyelamat dunia. Dengan
pandainya, mereka melakukan hegemoni ini melalui film-film mereka yang ditonton
sebagian besar masyarakat dunia. Coba perhatikan film-film science fiction
seperti Armageddon, Independence Day, Mars Attack, dan lain sebagainya.
Sehingga para penonton juga akan terbawa serta tertanam di pikirannya untuk
membenarkan isi film yang di gambarkan tersebut.
2.6 Perspektif Feminisme Terhadap Media
Feminisme adalah sebuah paham
yang munul ketika wanita untuk menuntut kesetaraan hak yang sama dengan
pria. Istilah ini pertama kali di gunakna di dalam debat politik di
perancis di akhir abad ke 19. Menurut June Hannam di dalam buku feminism, kata feminisme bisa
diartikan sebagai:
1.
Pengakuan
tentang ketidak seimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan peranan
wanitadi bawah pria.
2.
Keyakinan
bahwa kondisi wanita terbentu secara sosial maka dari itu dapat di ubah.
3.
Penekanan
pada otonomi wanita.
Orang
yang menganut paham feminisme ini disebut degan feminis. Sebagai sebuah faham,
feminisme berupaya untuk memperjuangkan transformasi sosial guna mewujudkan
dunia dengan pranata sosail yang adil secara gender (jenis kelamin).
Feminisme
sebagai salah satu teori sosial adalah untuk menganalisis dan menjelaskan akar
penyebab, dinamika dan struktur penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain
feminisme mempermasalahkan penyebab ketimpangan dan ketidak adilan dalam pola
relasi kuasa yang terjadi antara perempuan dengan laki-laki, maupun anatara
perempuan dengan perempuan anatar lintas kelas.
Sebagai
teori sekaligus gerakan, feminisme adalah alat untuk akar penyebab pola relasi
yang simetri antara laki-laki dan perempuan, penyebab terjadinya penindasan
terhadap perempuan, sekaligus reaksi dan perlawanan terhadap situasi yang
menindas dan tidak adil terhadap perempuan.
Di
Indonesia, feminisme telah berkembang sebagai perspektif dengan cukup luas.
Tokoh-tokoh feminisme di Indonesia tidak hanya hadir dari kalangan perempuan,
tetapi juga laki-laki. Perspektif feminisme itu digunakan dalam berbagai ruang
akademik. Tokoh-tokoh seperti Siti Musdah Mulia, Gadis Arivia, KH. Husein
Muhammad, Faqih Abdul Qadir, telah banyak mempublikasikan pandangan-pandangan
feminismenya di Indonesia.
Dalam
dua dekade terakhir, kelompok feminis meluncurkan beberapa teori yang secara
khusus menyoroti kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Feminis berupaya
menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotyp gender lainnya yang
berkembang luas di dalam masyarakat.
Kaum
feminis ini terbagi menjadi beberapa aliran, yang secara umum dapat di
kelompokan kedalam tiga aliran yaitu anatara lain yaitu diantaranya feminisme
liberal, feminisme radikal dan feminisme marxit/sosialis.
1.
Feminisme
liberal
Dasar pemikiran
kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang
dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara atau dengan yang
lainnya. dalam hal ini wanita juga seharusnya mempunyai kesempatan yang sama
dengan pria untuk menjadi sukses di dalam suatu masyarakat. feminisme liberal
di inspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan
sama-sama mempunyai kehususan.
Menurut paham ini
keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri. Hal yang harus
diperhatikan diantaranya.
-
Pertama,
peraturan untuk permainannnya harus adil.
-
Kedua,
pastikan tidak ada pihak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan
sistem yang dipakai seharusnya sistematis serta tidak ada yang dapat dirugikan.
Walaupun
menganut paham feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan secara
menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal. Dalam beberapa
hal terutama yang berhubungan dengan reproduksi, aliran ini masih memandang
perlunya ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Kelompok ini
membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki mereka menghendaki agar
perempuan di integrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di
luar rumah. Meraka memandang organ reproduksi bukan penghalang terhadap
peran-peran tersebut.
2.
Feminisme
Radikal
Aliran
ini muncul di permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar yaitu menggugat
semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarki yang
dinilai merugikan perempuan, karena jalas-jelas ini menguntungkan laki-laki.
Feminis
Radikal merupakan julukan untuk para feminis revolusioner yang memperkenalkan
cara berpikir baru dengan cara praktek meningkatkan kesadaran. Para wanita akan
berkumpul bersama di dalam sebuah kelompok kecil dan saling berbagi pengalaman
pribadi mereka sebagai wanita.
Feminis radikal ini
menganggap sistem patrialisme terbentuk oleh kekuasaan,dominasi, hirarki dan
kompetisi. Namun hal tersebut tidak bisa di reformasi dan bahkan pemikirannya
harus di rubah. Kelompok feminis radikal ini fokus kepada jenis kelamin,
genderdan reproduksi sebagai tempat untuk mngembangkan pemikiran fasisme
mereka.
Ketertindasan
perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai merupakan penindasan yang teramat
panjang yang ada di dunia. Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Alison
Jaggar dan Paula Rothenberg, yaitu dilihat dari lima aspek:
-
Dilihat
dari sejarah, wanita adalah kelompok pertama yang tertindas.
-
Penindasan
wanita adalah penindasan yang paling banyak tersebar luas, dan dapat dilihat
secara nyata di setiap kelompok masyarakat yang kita tahu.
-
Penindasan
wanita adalah bentuk penindasan yang paling sulit dibasmi dan tidak dapat
dihilangkan dengan penggantian status sosial lainnya seperti penghapusan kelas
masyarakat.
-
Penindasan
wanita menyebabkan penderitaan yang terburuk bagi korbannya, baik secara
kualitas maupun jumlahnya, walaupun korban yang bertahan seringkali tidak
dianggap dikarenakan penilaian berdasarkan jenis kelamin dari si penindas dan
korban.
-
Penindasan
wanita menyediakan contoh konseptual untuk mengerti penindasan dalam bentuk
lainnya.
feminisme
radikal menekankan para wanita untuk menyeimbangkan sifat feminim dan maskulin
di dalam dirinya atau sering disebut dengan istilah androgini. Wanita yang
memiliki sifat androgini adalah wanita yang memiliki karakter baik dari
sifat-sifat maskulin dan feminim di dalam dirinya atau lebih ekstrimnya lagi,
mempunyai campuran sifat maskulin dan feminim, baik atau buruk sesuai dengan
apa yang mereka sukai.
3.
Feminisme
Marxis-Sosilis
Aliran
ini berusaha untung menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan
jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran anatara kedua
jenis kelamin itu sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.
Sebagai salah
satunya adalah wanita di anggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah di dalam
masyarakat tradisional jika dibandingkan dengan laki-laki. Karena latar
belakang sejarah dan latar belakang biologis suatu masyarakat.
Pada dasarnya dari
ketiga aliran feminisme di atas, mempunyai tujuan yang utama di dalamnya yaitu
untuk memperjuangkan kemerdekaan atau persamaan status dan peran sosial antara
perempuan dan laki-laki sehingga kedepannya kita tidak lagi mendengar adanya
kasus atau masalah ketimpangan gender.
Salah satu contoh Konstruksi media
terhadap identitas dan peran melalui film yaitu, Pertentangan yang
memperlihatkan pemikiran Disney Corporation terhadap wanita yang konfliktual
dengan stand point feminisme muncul disebabkan oleh informasi dalam konten film
yang sering disebut sebagai moral of the story, berimplikasi pada pembentukan
karakter anak-anak perempuan dimasa awal.
Opsi yang ditunjukkan oleh Disney
dengan dongeng puteri kerajaannya adalah perempuan bisa bermimpi dan berharap
datangnya seseorang yang menyelamatkan hidupnya, bukan berusaha dan berjuang
untuk hidupnya sendiri.
Hal ini sangat tidak kondusif
bagi pembentukan kesadaran diri perempuan, dan berimplikasi pada sikap yang
dependent, termasuk pada laki-laki ketika perempuan menghadapi persoalan dalam
kehidupan.
Dengan melihat sudut pandang
Disney lewat film-filmnya para feminist merespon dengan berbagai kritikan tajam
dan kemudian mempengaruhi dinamika hubungan keduanya. Interaksi antara para
feminis dengan Disney corporation menghasilkan berbagai transaksi satu dan
teramifikasi ke transaksi seterusnya.
Hal ini bisa dilihat dari
transformasi karya Disney dari waktu ke waktu mengalami perubahan dari yang
semula peran laki-laki mendominasi, kini lebih terlihat equal. Meskipun tidak begitu signifikan dalam plot
filmnya yang selalu berakhir dengan bahagia, namun transformasi karakter
protagonist putri Disney dari masa ke masa merupakan pemenuhan tuntutan para
feminis. Persoalannya adalah setiap transformasi karakter film yang diproduksi
oleh Disney berjalan begitu lambat, dan tidak seiring dengan transformasi
social, terutama bila ingin kompatibel dengan perkembangan pandangan feminism.
Sebagai penggambaran di media.
Terutama di televisi. Wanita yang menjadi objek seringkali berada pada posisi
dimana wanita dilihat dari sosok yang bersifat biologis saja, yakni kecantikan
wajahnya, keindahan rambutnya, kemolekan dan kesensualan tubuhnya, kemerduan
suaranya dan unsur sejenis lainnya.
Unsur-unsur itulah yang di anggap
sebagai komoditas yang amat laku pada industri pertelevisian. Perempuan dalam
kondisi demikian bisa berupa bintang iklan, bintang sinetron dan lain-lain.
kabanyakan iklan yang menunjukan perempuan sebagai citra maupun metode
persuasinya lebih cenderung menampilkan sosok biologis mereka baik kecantikan,
keindahan rambut dan lain-lain.
Sosok non biologis seringkali
tidak begitu di tonjolkan atau mungkin tidak pernah di tonjolkan seperti
intelektual, keterampilan dan keahlian dan profesionalitas perempuan. Posisi
demikian perempuan yang demikian melahirkan protes masyarakat terhadap televisi.
Gerakan feminis pada 1960 an
muncul karena adanya kekecewaan dan protes terhadap citra perempuan yang
demikian yang selalu di tampilkan di televisi. Mereka hawatir itu akan menjadi
budaya kedepannya. Dan menganggap perempuan hanya bisa di kembangkan dalam
bidang biologisnya dan tidak mempunyai banyak kemampuan di bidang non biologis.
Namun
di sisi lain, gerakan feminis di lain sisi di untungkan juga dengan adanya
media. Perkembangan media
akhir-akhir ini tidak dapat di pungkiri berlangsung secara cepat, terutama
media cetak seperti Televisi. Peranan mediapun bermacam-macam. Dari peranan
utamanya yaitu berfungsi sebagai sarana yang informatif, edukatif dan hiburan.
media juga berperan dalam sosialisasi feminisme dan media pendukung terjadinya
gerakan feminisme.
Dalam
wacana mengenai perempuan, media selalu mengangkat berita mengenai kekerasan
perempuan dalam rumah tangga, penyiksaaan tenaga kerja wanita di luar negeri
dan ketangguhan perempuan dalam kemelut hidup. Melalui media, perempuan
memberikan seruan, melalui media pula perempuan menuntut adanya persamaan
gender, penghapusan diskriminasi dan perbedaan gender, baik dalam pekerjaan
(ekonomi), rumah tangga, politik, sosial maupun budaya.
Media
yang menjadi salah satu media komunikasi informasi kepada masyarakat di suatu
bangsa atau di lingkup internasional. Media dapat memberikan bantuan pada
pergerakan kaum feminisme. Media sebagai wadah negoisasi kaum feminis, tempat
pergulatan wacana kritis persoalan feminisme, yang berisikan pro dan kontra
terhadap gerakan feminisme. Mengangkat suatu tema perempuan dalam setiap sudut
pergerakannya.
Pada
suatu wacana pada harian Kompas, mengangkat sebuah tema perjuangan perempuan.
Wacana ini menceritakan tentang seorang perempuan janda paruh baya bernama
Marni, yang berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan bertani cabai.
Dalam
wacana tersebut diilustrasikan bagaimana Marmi menjalani kehidupan sehari-hari
dan kehebatannya dalam menghadapi tuntutan hidup. Marmi yang harus bergelut
dengan tanah dan lumpur, belum lagi jika panas matahari mulai menyengat
kulitnya. Bagaimana marni harus menggarap lahan sendirian, tanpa suami dan anak
yang mendampinginya.
Halitu
dapat membuka mata orang yang membaca cerita tersebut dapat berpikir bahwa
wanitapun dapat melakukan hala yang sekarang ini sering di presepsikan hanya
kaum laki-laki yang hanya bisa melakukannya.
Kaum
feminis percaya bahwa media sering menyajikan perempuan sebagai pembersih, ibu
rumah tangga, pembantu rumah tangga memberikan kenyamanan dan dukungan untuk
laki-laki, pria objek seks untuk kebutuhan seksual pria layanan, dll. Kaum
feminis percaya bahwa keterwakilan gender ini merupakan aspek patriarki. Kaum
feminis percaya bahwa media menunjukkan peran-peran ini yang alami dan normal.
Kaum feminis melihat ini sebagai contoh patriarki ideologi-seperangkat
keyakinan yang mendistorsi realitas dan mendukung dominasi laki-laki.
Tapi
disisi lain pentingnya media dalam menampilkan suatu wacana feminisme sangat
membantu dalam pergerakan kaum feminis tersebut dalam menunjukan eksistensinya.
Para feminis bisa mengeluarkan seruan-seruannya melalui media yang berperan
sebagai sarana pergerakan dan negosiasi kaum feminisme akan kesetaraan gender,
pengkritikan ketidakadilan gender, bahkan sampai dengan pengangkatan tematik ke
khalayak ramai mengenai perempuan melalui media.
Contoh
lainnya adalah jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di
dalam atau di luar negeri. Dan kasus tersebut di muat di media, maka akan cepat
berdampak pada para pembacanya. Yang akan merasa simpati ataupun lebih dari itu
yaitu sikap empati untuk melakukan gerakan-gerakan yang menolak kekerasan
terhadap tenaga kerja tersebut dan mendesaknya untuk para pemimpin agar dapat
cepat menyelesaikan persoalan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
B.Horton,
Paul & L.Hunt, Chester.1987.Sosiologi.Jakarta:Penerbit
Erlangga.
Barrat. David. 1994.Media Sociology.London:Tavistock
Publications, Ltd.
Bungin,
M.Burhan.2006.Sosiologi Komunikasi.Jakarta.Kencana
Prenada Media Group.
Light, Donald. 1989. Sociology. Amerika: Suzanne Infeld.
Rose, Jerry D. 1980. Introduction To Sociology. USA: Rand Mcnally College Publshing
Company
Rusli Karim, Muhammad. 2009 .Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya :
Usaha Nasional.
Soenarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi. Jakarta: UI. Press.
Subandy.Idi
& Suranto.Hanif.Ideologi Gender Dalam
Ruang Publik.Bandung:P.T Remaja Rosdakary.
Syam,
Nina W.2012.Sosiologi Sebagai Akar Ilmu
Komunikasi.Bandung:Simbiosa Rekatama Media.
Wright,
Charles R.1985.Sosiologi Komunikasi
Massa.Bandung:Penerbit Remadja Karya.
0 komentar:
Posting Komentar