1. IBNU
KHALDUN ( 1333-1406 )
Ibnu
Khaldun lahir di Tunisia pada awal bulan ramadhan 732 H, atau tepatnya
pada 27 Mei 1332 M. Keluarga Bani
Khaldun berasal dari daerah Hadramut, sebuah daerah selatan Jazirah Arab. Bani
Khaldun keudian pindah ke Aundalusia dan menetap di sevilla pada permulaan
penyebaran islam di sana pada sekitar abad ke-9 masehi. Khaldun meninggal dunia
pada tahun 1406 M.
Khaldun adalah
pemikir dan ilmuwan Muslim yang pemikirannya dianggap murni dan baru pada
zamannya. Buku karyanya yang berjudul “Muqaddimah”
cukup banyak memberikan dasar bagi lahirnya disiplin sosiologi. Manusia,
menurut Khaldun dalam bukunya Muqaddimah,
pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu
membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya
dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (Khaldun,
1969). Kemudian, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan
makanan. Untuk memenuhi makanan dalam sehari saja memerlukan banyak pekerjaan.
Selanjutnya, menurut khaldun manusia juga membutuhkan orang lain untuk
melindungi dirinya dalam bahaya. Di sisi lain, manusia memiliki akal atau
kemampuan berpikir dan ada dua buah tangan. Akan tetapi, muntuk mempertahankan
hidupnya manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga
organisasi kemasyarakatan merupakan sebuah keharusan .
Semasa hidupnya, beliau membantu
berbagai sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan Aljazair sebagai duta besar,
bendaharawan dan anggota dewan penasehat sultan.Tidak banyak catatan sejarah
yang menceritakan riwayat masa kecil atau masa mudanya. Namun, Ibnu Khaldun
dikenal sebagai anak yang sudah menguasai Alquran dan bahasa Arab pada usia
yang relatif muda. Dia juga menguasai ilmu-ilmu klasik, seperti filsafat,
metafisika dan tasawuf. Disamping itu, dia tertarik dengan geografi, sejarah
dan ilmu ekonomi. Pada usia 20 Tahun, beliau telah diangkat menjadi sekretaris
Sultan Abu Inan di Fez, Maroko. Setelah itu beliau menjadi Perdana Menteri
Sultan Buogie (Sekarang Aljazair), kemudian pada tahun 1366 M., Ibnu Khaldun
pindah ke Konstantinopel dan diangkat menjadi pembantu Raja Abdul Abbas.
Kemudian Ia pindah ke Biskra (daerah selatan Konstantinopel). Pada tahun 1375
M. ia mulai berkencimpung di dunia keilmuwan
Kritikannya bahwa penguasa negara
bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan menyebabkan Ibnu
Khaldun dipenjara selama 2 tahun di Maroko. Selama kurang lebih dua dekade
aktif di bidang politik, serta menyaksikan penyusutan peradaban dan perpecahan
di dunia Islam. Hal ini mendorong beliau untuk menganalisa sebab-sebabnya.
Beliau pun lalu meneliti kekacauan politik yang terjadi di Afrika Barat Laut
(Lauer, 2003:41). Ibnu Khaldun mengundurkan diri dari kehidupan politik dan
kembali ke Afrika Utara. Di situ dia melakukan studi dan menulis secara
intensif selama 5 tahun dan menghasilkan karya-karya yang menyebabkan beliau
terkenal dan diangkat menjadi guru besar studi Islam di Universitas Al-Azhar
Kairo. Dalam mengajarkan tentang masyarakat dan ilmu-ilmu sosial, Ibnu Khaldun
menekankan pentingnya menghubungkan pemikiran sosiologi dan observasi sejarah.
Menjelang kematiannya tahun 1400 M.,
Ibnu Khaldun telah menghasilkan sekumpulan karya yang mengandung berbagai
pemikiran yang mirip dengan sosiologi jaman sekarang. Dia melakukan studi
Ilmiah tentang masyarakat, riset empiris, dan meneliti sebab-sebab fenomena
sosial. Ia memusatkan perhatian pada berbagai lembaga sosial (misalnya lembaga
politik dan ekonomi) dan hubungan antara lembaga sosial itu. Ia juga melakukan
studi perbandingan antara masyarakat primitif dan masyarakat modern atau
tentang masyarakat nomaden dengan masyarakat menetap.
Ibnu Khaldun tak berpengaruh secara
dramatis terhadap sosiologi klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya dan
sarjana muslim khususnya meneliti ulang karyanya, ia mulai diakui sebagai
sejarahwan yang mempunyai signifikansi historis.
Ibnu Khaldun bukan hanya seorang
intelektual, tetapi juga praktisi politik. Pergulatannya dengan politik
mengantarkannya terlibat di berbagai kancah politik di wilayah barat Afrika
Utara seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko, hingga ke Andalusia dan kemudian
Timur Tengah. Namun, semangat intelektualitasnya tidak pernah padam. Di saat
jeda, dia masih sempat menjalankan kerja intelektualnya dengan meneliti dan
berkarya, termasuk menulis buku sosiologi politik kenegaraan. Muqadimah-nya
banyak diperbincangkan para ahli selama berabad-abad. Intelektualitasnya tidak
hanya berputar di sekitar idea dan wacana, melainkan membumi ke dunia nyata,
bahkan ke realitas politik, sosial dan ekonomi.
Tidak banyak sosok yang dapat meraih
posisi yang menonjol dalam intelektualitas dan politik sekaligus seperti beliau, bahkan di dunia
modern sekarang. Ibnu Khaldun yang sempat mengambil jarak dari kekuasaan pun
tak mampu menahan diri untuk tidak terjun kembali ke politik di usia tuanya.
Ibnu Khaldun sempat melahirkan karya besar. Jika tidak, tak akan ada nama Ibnu
Khaldun yang dikenang dunia seperti sekarang.
1.
POKOK
PIKIRANNYA TENTANG SEJARAH
Ketika dunia Barat belum memiliki pemikir
di bidang sejarah dan sosiologi, dan dunia Islam masih terkungkung dengan
pemahaman profane bahwa kenyataan hidup dan kehidupan manusia adalah
kehendak Tuhan semata, Ibnu Khaldun muncul dengan kecerdasan ilahiah melalui
pemikiran-pemikiran yang sangat original dan baru tentang sejarah
manusia. Ibnu Khaldun seakan membuka tabir sejarah manusia di balik kehendak
Tuhan dengan mengungkapkan teori sejarah secara realistis berdasarkan fenomena
sosial yang ada dan berjalan di atas hukum kausalitas.
Menurut
dia, sejarah tidak hanya diungkap secara faktual tetapi yang lebih penting
adalah hukum kausalitas sejarah itu sendiri harus diungkapkan. Sebuah peristiwa
sejarah harus dilihat dari berbagai aspek, baik itu aspek ekonomi, politik,
sosial, agama, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan itu, dalam tulisan ini
akan diuraikan beberapa teori Ibnu Khaldun berdasarkan Muqaddimah-nya.
2.
TEORI SIKLUS
Pokok pikirannya yang terpenting adalah
teori sejarah masyarakat manusia sebagai proses tak berujung (unlimited
process), berputar dan mengulang terus menerus itulah yang oleh ilmuwan
menyebutnya dengan teori Lingkaran atau teori Siklus Ibnu Khaldun. Teori ini
dibangun berdasarkan penelitiannya pada rangkaian proses sejarah masyarakat
sosial-politik di benua Afrika yaitu sekitar Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Dan
secara praktis Ibnu Khaldun ikut terlibat dalam proses sejarah tersebut.
Berdasarkan kajian yang tertuang dalam Muqaddimah-nya,
teori siklus ini dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a.
Sejarah
Sosial
Dalam Kehidupan masyarakat di Afrika,
atau yang berlatar belakang masyarakat Barbar, Ibnu Khaldun membagi dua
kelompok masyarakat, yaitu masyarakat nomaden (Badui) dan masyarakat
menetap. Berdasarkan pada objek kajiannya mengenai masyarakat nomaden atau masyarakat
primitif dan masyarakat menetap atau masyarakat kota (Madinah). Ibnu
Khaldun memandang bahwa mobilitas masyarakat nomaden merupakan proses sejarah
dan masyarakat kota yang menetap adalah masyarakat yang terorganisir dan
berperadaban. Dalam perjalanannya menuju perubahan-perubahan yang signifikan,
masyarakat akan berhadapan dengan berbagai problem yang lahir dari
perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat yang akan berproses
kepada tujuan yang diingingkan bersama. Dalam mencapai tujuan itu diperlukan
kerjasama dan solidaritas dalam suatu masyarakat atau kelompok secara
terorganisir, baik dalam bentuk kelompok sosial, kesukuan maupun negara.
b.
Solidaritas
Sosial
As-abiyyah
inilah
yang melambungkan namanya dimata para pemikir moderen. Peradaban badui, orang
kota dan solidaritas sosial (as-abiyyah)
menurut Ibnu Khaldun merupakan faktor pembentuk negara (dawlah). As-abiyyah
yang
mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme
kesukuan, nasionalisme atau sentimen sosial yaitu cinta dan kasih sayang
seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya
diperlakukan tidak adil atau disakiti. Hal ini memunculkan dua kategori sosial
fundamental yaitu badawah (komunitas pedalaman, masyarakat primitif atau
daerah gurun) dan had-arah
(komunitas
masyarakat kota, beradab) sebagai fenomena yang alamiah dan niscaya (Ibnu
Khaldun, 2000:43). Sifat-sifat kepemimpinan selalu dimiliki oleh orang-orang
yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunannya
yang bersifat khas maupun umum. Setiap kaum harus ada solidaritas sosial yang
berada di atas solidaritas masing-masing individu, sebab apabila masing-masing
individu meyakini keunggulan Samsinas, Ibnu Khaldun…solidaritas sosial sang
pemimpin maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya . Kelompok padang
pasir yang liar lebih kuat dan mudah menaklukan masyarakat kota. Ini adalah
hasil penelitiannya pada masyarakat Barbar (Ibnu Khaldun, 2000:138). Tujuan
akhir solidaritas adalah kedaulatan. Dan solidaritas sosial dapat mempersatukan
tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Kemudian ketika satu
kelompok solidaritas sosial yang menguasai negara sudah tua maka akan
digantikan atau direbut oleh solidaritas sosial lain yang lebih kuat atau
merekruk pemimpin dari kelompok yang sudah tua bergandengan tangan dengan
pemimpin kelompok solidaritas sosial lain yang lebih kuat. Itulah yang terjadi
pada orang-orang Turki yang masuk ke dalam kedaulatan Bani Abbas.
c. Persaudaraan Berdasarkan Kesamaan Keyakinan
(Mu’akhah)
Menurut
Ibnu Khaldun persamaan ketuhanan (mu‟akhah), yaitu solidaritas
yang dibangun berdasarkan persaudaraan atas kesamaan keyakinan membuat mereka
berhasil mendirikan Dinasti, karena menurutnya bangsa Arab adalah bangsa yang
tidak mau tunduk kepada satu sama lain, kasar, angkuh dan ambisius. Maka yang
menjadi pemimpin pada bangsa Arab adalah pemimpin suku/kabilah bukan dinasti.
Itulah kenapa Nabi diturunkan di wilayah Arab. Hegemonitas kelompok dapat
disatukan oleh keyakinan agama (Ibnu Khaldun, 2000:132).
Khilafah
adalah pemerintahan yang berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai
dengan petunjuk agama, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu,
pemerintahan yang berlandaskan agama disebut dengan “khilâfah”, “imâmah”,
atau “sultânah”,
sedangkan pemimpinnya disebut “khalîfah” atau “imâm” atau “sultân”.
Khalifah adalah pengganti Nabi Muhammad, dengan tugas mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan dunia, lembaga imâmah adalah wajib menurut
hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah,
tetapi ada juga yang berpendapat, imâmah wajib karena akal/atau perlunya
manusia terhadap organisasi sosial. Namun, hukum wajibnya adalah FardKifâyah
. Ibnu Khaldun menetapkan lima syarat bagi khalifah/imam/ sultan: (1)
memiliki pengetahuan, (2) memiliki sifat-sifat adil, (3) mempunyai kemampuan
(memimpin), (4) sehat fisik dan panca indra, (5) Keturunan Quraisy berdasarkan
teori Asabiyyah
Menurut
Ibnu Kaldun keturunan Quraisy memiliki keutamaan, yaitu orang-orang Quraisy
adalah pemimpin-pemipin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar,
solidaritas kelompoknya kuat, memiliki wibawah yang tinggi, maka tidak heran
jika pemimpin agamanya dipercayakan pada suku Quraisy. Nabi menginginkan persatuan
solidaritas dan persaudaraan (Ibnu Khaldun, 2000:191-193) Meski demikian jika
solidaritas suku Quraisy lemah, maka dimungkinkan suku lain yang lebih kuat
solidaritasnya pada saat itu.
d.
Politik dan
Ulama
Menurut
Ibnu Khaldun, ada tiga bentuk pemerintahan dalam suatu Negara, yaitui: pertama,
pemerintahan yang natural (siyâsah tâbi‟iyyah),
yaitu pemerintahan yang membawa masyarakat sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya,
seorang raja lebih mementingkan keinginan nafsunya ketimbang rakyatnya.
Akibatnya, rakyatnya tidak mau mentaati pemerintahannya, maka terjadilah teror,
penindasan dan anarki. Pada zaman sekarang disebut pemerintahan otokratik; kedua,
pemerintahan berdasarkan nalar (siyâsah „aqlîyah),
yaitu, pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai rasio dalam mencapai
kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan pemerintahan yang berdasarkan
undang-undang, dibuat oleh para cendekiawan. Pada zaman sekarang serupa dengan
pemerintahan republik dan kerajaan institusional. Karena hanya mampu mewujudkan
keadilan sampai batas tertentu; ketiga; Pemerintah berdasarkan agama (siyâsah
dîniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan
ketentuan agama baik yang bersifat keduniawian maupun ukhrawi. Model
pemerintahan seperti ini menurut Ibnu Khaldun (2000:191) adalah pemerintahan
yang berlandaskan agama Islam. Kepala negara disebut khalifah, imam atau sultan
karena mereka harus berperan sebagai pengganti nabi dalam memelihara
kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi dan rakyatnya. Imam sebagai
pemimpin negara ibarat imam dalam salat yang harus diikuti oleh rakyat sebagai
makmum.
Dari
pembagian di atas, tampak bahwa Ibnu Khaldun menempuh jalur baru dibandingkan
dengan Al-Farabi dan Ibnu Al-Kabi dalam mengklasifikasikan pemerintahan. Ia
tidak memandang sisi personalnya juga bukan pada jabatan imam melainkan pada
makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap
pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem
pemerintahan.
e.
Model Generasi Politik
Ibnu
Khaldun juga memiliki gambaran tentang model generasi politik. Dalam hal ini
menurut dia, ada tiga model generasi, yaitu (1) generasi pembangun yang dengan
segala kesederhanaan di atas solidaritas yang tulus di bawah otoritas kekuasaan
yang didukukungnya; (2) generasi penikmat, yaitu mereka yang karena diuntungkan
secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan menjadi tidak peka lagi
terhadap kepentingan bangsa dan Negara; dan (3) generasi yang tidak lagi
memiliki hubungan emosional dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang
mereka sukai tanpa memperdulikan nasib negara jika suatu bangsa sudah sampai
pada generasi ketiga maka keruntuhan negara sebagai sunatullah sudah
diambang pintu (Abdalla, 2008:172).
Menurut
Ibnu Khaldun, ketiga model generasi ini ada secara bergantian dalam beberapa
kali proses pemerintahan atau berada dalam rentang waktu sekitar satu abad.
Sebuah peradaban besar dimulai generasi dari masyarakat yang telah di tempa
dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup yang
makmur dan terbatas dari kesusahan hidup ditambah dengan Asabiyyah di
antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka
dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah
peradaban baru. Kemudian diikuti dengan kemunduran peradaban (Abdalla,
2008:172). Tahapan-tahapan ini kemudian terulang lagi, dan begitu seterusnya.
Berdasar ini pula, menurut Ibnu Khaldun, tidak ada status quo, karena
keniscayaan proses sejarah manusia yang selalu berubah dan berputar.
f.
Filsafat Sejarah
Ibnu Khaldun memperkenalkan bahwa
terjadinya keberlangsungan masyarakat nomaden dan masyarkat kota harus mengenal
faktor-faktor penyebabnnya demikian pula terhadap kekacauan politik di dunia
Islam masa itu. Dalam Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun menguraikan metodologi
penelitian sejarah dan penjelasan sejarah umat manusia. Ibnu Khaldun tidak
hanya sebagai pelaku sejarah tetapi juga ilmuwan sejarah yang dapat melahirkan
teori-teori baru berdasarkan hasil penelitian empiris dan sangat metodologis.
Menurut Ibnu Khaldun
(2000:173), hakekat sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummat manusia.
Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia, tentang revolusi, dan
pemberontakan oleh segolongan yang lain dengan akibat timbulnya
kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya; tentang
kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam
ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan
yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri adalah sunnatullah.
Ia menyadari bahwa
penulisan sejarah sudah wataknya cenderung mengalami kebohongan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
· semangat terlibatnya sejarahwan atau penulis
sejarah kepada pendapat-pendapat atau mazhab-mazhab.
akibat terlalu percaya pada orang yang
menukilkan sehingga memerlukan personality criticism.
ketidaksanggupan
memahami maksud yang sebenarnya dari hasil observasinya.
asumsi yang tak
beralasan terhadap kebenaran sesuatu hal termasuk akibat terlalu percaya pada
para penukil.
ketidaktahuan tentang
bagaimana kondisi-kondisi sesuai dengan realitas, disebabkan kondisi-kondisi
itu dimasuki oleh ambisi-
ambisi dan
distorsi-distorsi artifisial serta tidak mempunyai gambaran yang benar tentang
kondisi-kondisi tersebut.
adanya fakta bahwa
kebanyakan manusia cenderung ingin dipuji atau kepentingan politik sehingga
informasi yang disampaikannya cenderung tidak jujur.
kebohongan sejarah
yang tidak dapat dihindarkan adalah ketidaktahuan tentang berbagai watak
berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban (Ibnu Khaldun, 2000:58-59).
Sehubungan
dengan peradaban umat manusia, Ibnu Khaldun (2000:71) mengatakan organisasi
kemasyarakatan merupakan suatu keharusan karena manusia adalah makhluk yang
bersifat politis menurut tabiatnya. Menurut dia, tanpa organisasi itu
eksistensi manusia tidak akan sempurna. Umat manusia memerlukan seorang yang
akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka karena permusuhan dan
kezaliman adalah merupakan watak hewani yang dimiliki oleh manusia. Senjata
yang dibuat manusia untuk pertahanan dari serangan binatang tidaklah mencukupi
bagi pertahanan terhadap serangan sesama manusia. Dan ini tidaklah mungkin
datang dari luar. Oleh karena itu, dengan sendirinya orang yang akan melaksanakan
kewibawaan itu haruslah seorang di antara mereka sendiri. Ia harus menguasai
mereka dan mempunyai kekuatan dan wibawa melebihi mereka sehingga tak seorang
pun di antara mereka sanggup menyerang yang lainnya dan inilah yang dinamakan
kekuasaan (mulk) atau kedaulatan.
Pemikiran Ibnu khaldun tentang
Filsafat Pendidikan
Menurut
Ibn Khaldun pendidikan memiliki arti yang luas, pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar
yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di
mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Ibn khaldun juga mengatakan bahwa
seseorang yang tidak terdidik oleh orang tuanya, oleh gurunya atau oleh
orang-orang yang dianggap sesepuh di sekitarnya maka orang tersebut akan
terdidik oleh alam dan zaman. Hal ini memiliki makna seseorang yang tidak
mendapat pengajaran moral atau mengenai tata karma selama ia menjalin hubungan
sosial dengan orang tua, gurunya atau sesepuh maka dia akan mempelajarinya dari
alam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman.
Ibn khaldun juga mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia. Hal ini
terlihat dari perilaku manusia, dimana manusia merupakan bagian dari binatang
namun Allah SWT memberikan akal dan pikiran agar manusia berbeda dengan
binatang lainnya lalu manusia dibekali pula dengan panca indera kemudian
timbullah keinginan dari dalam diri manusia secara alami untuk mengetahui
segalanya yang kemudian mendorongnya untuk mencari sumber yang dapat menjawab
segala keingintahuannya. Hal inilah yang kemudian mendorong manusia untuk
mempelajari suatu ilmu dengan sebenar-benarnya dan manusia pun meminta bantuan
kepada orang-orang yang dianggap mampu untuk menjawab segala keingintahuannya
dan inilah yang menimbulkan adanya pengajaran.
Tujuan pendidikan menurut Ibn
Khaldun antara lain :
1. Menyiapkan seseorang dari segi
keagamaan.
2. Menyiapkan seseorang dari segi
akhlak.
3. Menyiapkan seseorang dari segi
kemasyarakatan atau sosial.
4. Menyiapkan seseorang dari segi
vokasional atau pekerjaan.
5. Menyiapkan seseorang dari segi
pemikiran.
6. Menyiapkan seseorang dari segi
kesenian
Ibnu
Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari
manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.
Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu
naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini
peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama,
karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil
dari Al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu
antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh,
ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi
manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini
dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan
peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibn Khaldun ilmu-ilmu filsafat
(aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: Ilmu logika, Ilmu fisika, Ilmu
metafisika dan Ilmu matematika.
Ibn
Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat
macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri
dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri
dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3. Ilmu alat yang membantu
mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu
hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari
ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut
Ibn Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu
pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan
kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk
mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
0 komentar:
Posting Komentar