Tokoh dan Pencetus Teori Sosiologi

Sabtu, 25 Oktober 2014

    1. IBNU KHALDUN ( 1333-1406 )


Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada awal bulan ramadhan 732 H, atau tepatnya pada 27 Mei 1332 M. Keluarga Bani Khaldun berasal dari daerah Hadramut, sebuah daerah selatan Jazirah Arab. Bani Khaldun keudian pindah ke Aundalusia dan menetap di sevilla pada permulaan penyebaran islam di sana pada sekitar abad ke-9 masehi. Khaldun meninggal dunia pada tahun 1406 M.


Khaldun adalah pemikir dan ilmuwan Muslim yang pemikirannya dianggap murni dan baru pada zamannya. Buku karyanya yang berjudul “Muqaddimah” cukup banyak memberikan dasar bagi lahirnya disiplin sosiologi. Manusia, menurut Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (Khaldun, 1969). Kemudian, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Untuk memenuhi makanan dalam sehari saja memerlukan banyak pekerjaan. Selanjutnya, menurut khaldun manusia juga membutuhkan orang lain untuk melindungi dirinya dalam bahaya. Di sisi lain, manusia memiliki akal atau kemampuan berpikir dan ada dua buah tangan. Akan tetapi, muntuk mempertahankan hidupnya manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatan merupakan sebuah keharusan .
Semasa hidupnya, beliau membantu berbagai sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan Aljazair sebagai duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasehat sultan.Tidak banyak catatan sejarah yang menceritakan riwayat masa kecil atau masa mudanya. Namun, Ibnu Khaldun dikenal sebagai anak yang sudah menguasai Alquran dan bahasa Arab pada usia yang relatif muda. Dia juga menguasai ilmu-ilmu klasik, seperti filsafat, metafisika dan tasawuf. Disamping itu, dia tertarik dengan geografi, sejarah dan ilmu ekonomi. Pada usia 20 Tahun, beliau telah diangkat menjadi sekretaris Sultan Abu Inan di Fez, Maroko. Setelah itu beliau menjadi Perdana Menteri Sultan Buogie (Sekarang Aljazair), kemudian pada tahun 1366 M., Ibnu Khaldun pindah ke Konstantinopel dan diangkat menjadi pembantu Raja Abdul Abbas. Kemudian Ia pindah ke Biskra (daerah selatan Konstantinopel). Pada tahun 1375 M. ia mulai berkencimpung di dunia keilmuwan
Kritikannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan menyebabkan Ibnu Khaldun dipenjara selama 2 tahun di Maroko. Selama kurang lebih dua dekade aktif di bidang politik, serta menyaksikan penyusutan peradaban dan perpecahan di dunia Islam. Hal ini mendorong beliau untuk menganalisa sebab-sebabnya. Beliau pun lalu meneliti kekacauan politik yang terjadi di Afrika Barat Laut (Lauer, 2003:41). Ibnu Khaldun mengundurkan diri dari kehidupan politik dan kembali ke Afrika Utara. Di situ dia melakukan studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun dan menghasilkan karya-karya yang menyebabkan beliau terkenal dan diangkat menjadi guru besar studi Islam di Universitas Al-Azhar Kairo. Dalam mengajarkan tentang masyarakat dan ilmu-ilmu sosial, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya menghubungkan pemikiran sosiologi dan observasi sejarah.
Menjelang kematiannya tahun 1400 M., Ibnu Khaldun telah menghasilkan sekumpulan karya yang mengandung berbagai pemikiran yang mirip dengan sosiologi jaman sekarang. Dia melakukan studi Ilmiah tentang masyarakat, riset empiris, dan meneliti sebab-sebab fenomena sosial. Ia memusatkan perhatian pada berbagai lembaga sosial (misalnya lembaga politik dan ekonomi) dan hubungan antara lembaga sosial itu. Ia juga melakukan studi perbandingan antara masyarakat primitif dan masyarakat modern atau tentang masyarakat nomaden dengan masyarakat menetap.
Ibnu Khaldun tak berpengaruh secara dramatis terhadap sosiologi klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya dan sarjana muslim khususnya meneliti ulang karyanya, ia mulai diakui sebagai sejarahwan yang mempunyai signifikansi historis.
Ibnu Khaldun bukan hanya seorang intelektual, tetapi juga praktisi politik. Pergulatannya dengan politik mengantarkannya terlibat di berbagai kancah politik di wilayah barat Afrika Utara seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko, hingga ke Andalusia dan kemudian Timur Tengah. Namun, semangat intelektualitasnya tidak pernah padam. Di saat jeda, dia masih sempat menjalankan kerja intelektualnya dengan meneliti dan berkarya, termasuk menulis buku sosiologi politik kenegaraan. Muqadimah-nya banyak diperbincangkan para ahli selama berabad-abad. Intelektualitasnya tidak hanya berputar di sekitar idea dan wacana, melainkan membumi ke dunia nyata, bahkan ke realitas politik, sosial dan ekonomi.
Tidak banyak sosok yang dapat meraih posisi yang menonjol dalam intelektualitas dan politik  sekaligus seperti beliau, bahkan di dunia modern sekarang. Ibnu Khaldun yang sempat mengambil jarak dari kekuasaan pun tak mampu menahan diri untuk tidak terjun kembali ke politik di usia tuanya. Ibnu Khaldun sempat melahirkan karya besar. Jika tidak, tak akan ada nama Ibnu Khaldun yang dikenang dunia seperti sekarang.

1.      POKOK PIKIRANNYA TENTANG SEJARAH
Ketika dunia Barat belum memiliki pemikir di bidang sejarah dan sosiologi, dan dunia Islam masih terkungkung dengan pemahaman profane bahwa kenyataan hidup dan kehidupan manusia adalah kehendak Tuhan semata, Ibnu Khaldun muncul dengan kecerdasan ilahiah melalui pemikiran-pemikiran yang sangat original dan baru tentang sejarah manusia. Ibnu Khaldun seakan membuka tabir sejarah manusia di balik kehendak Tuhan dengan mengungkapkan teori sejarah secara realistis berdasarkan fenomena sosial yang ada dan berjalan di atas hukum kausalitas.
Menurut dia, sejarah tidak hanya diungkap secara faktual tetapi yang lebih penting adalah hukum kausalitas sejarah itu sendiri harus diungkapkan. Sebuah peristiwa sejarah harus dilihat dari berbagai aspek, baik itu aspek ekonomi, politik, sosial, agama, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan itu, dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa teori Ibnu Khaldun berdasarkan Muqaddimah-nya.
2.      TEORI SIKLUS

Pokok pikirannya yang terpenting adalah teori sejarah masyarakat manusia sebagai proses tak berujung (unlimited process), berputar dan mengulang terus menerus itulah yang oleh ilmuwan menyebutnya dengan teori Lingkaran atau teori Siklus Ibnu Khaldun. Teori ini dibangun berdasarkan penelitiannya pada rangkaian proses sejarah masyarakat sosial-politik di benua Afrika yaitu sekitar Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Dan secara praktis Ibnu Khaldun ikut terlibat dalam proses sejarah tersebut.
Berdasarkan kajian yang tertuang dalam Muqaddimah-nya, teori siklus ini dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a.      Sejarah Sosial
Dalam Kehidupan masyarakat di Afrika, atau yang berlatar belakang masyarakat Barbar, Ibnu Khaldun membagi dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat nomaden (Badui) dan masyarakat menetap. Berdasarkan pada objek kajiannya mengenai masyarakat nomaden atau masyarakat primitif dan masyarakat menetap atau masyarakat kota (Madinah). Ibnu Khaldun memandang bahwa mobilitas masyarakat nomaden merupakan proses sejarah dan masyarakat kota yang menetap adalah masyarakat yang terorganisir dan berperadaban. Dalam perjalanannya menuju perubahan-perubahan yang signifikan, masyarakat akan berhadapan dengan berbagai problem yang lahir dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat yang akan berproses kepada tujuan yang diingingkan bersama. Dalam mencapai tujuan itu diperlukan kerjasama dan solidaritas dalam suatu masyarakat atau kelompok secara terorganisir, baik dalam bentuk kelompok sosial, kesukuan maupun negara.
b.      Solidaritas Sosial
As-abiyyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir moderen. Peradaban badui, orang kota dan solidaritas sosial (as-abiyyah) menurut Ibnu Khaldun merupakan faktor pembentuk negara (dawlah). As-abiyyah yang mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme atau sentimen sosial yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu badawah (komunitas pedalaman, masyarakat primitif atau daerah gurun) dan had-arah (komunitas masyarakat kota, beradab) sebagai fenomena yang alamiah dan niscaya (Ibnu Khaldun, 2000:43). Sifat-sifat kepemimpinan selalu dimiliki oleh orang-orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunannya yang bersifat khas maupun umum. Setiap kaum harus ada solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas masing-masing individu, sebab apabila masing-masing individu meyakini keunggulan Samsinas, Ibnu Khaldun…solidaritas sosial sang pemimpin maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya . Kelompok padang pasir yang liar lebih kuat dan mudah menaklukan masyarakat kota. Ini adalah hasil penelitiannya pada masyarakat Barbar (Ibnu Khaldun, 2000:138). Tujuan akhir solidaritas adalah kedaulatan. Dan solidaritas sosial dapat mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Kemudian ketika satu kelompok solidaritas sosial yang menguasai negara sudah tua maka akan digantikan atau direbut oleh solidaritas sosial lain yang lebih kuat atau merekruk pemimpin dari kelompok yang sudah tua bergandengan tangan dengan pemimpin kelompok solidaritas sosial lain yang lebih kuat. Itulah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke dalam kedaulatan Bani Abbas.
c. Persaudaraan Berdasarkan Kesamaan Keyakinan (Mu’akhah)
Menurut Ibnu Khaldun persamaan ketuhanan (mu‟akhah), yaitu solidaritas yang dibangun berdasarkan persaudaraan atas kesamaan keyakinan membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti, karena menurutnya bangsa Arab adalah bangsa yang tidak mau tunduk kepada satu sama lain, kasar, angkuh dan ambisius. Maka yang menjadi pemimpin pada bangsa Arab adalah pemimpin suku/kabilah bukan dinasti. Itulah kenapa Nabi diturunkan di wilayah Arab. Hegemonitas kelompok dapat disatukan oleh keyakinan agama (Ibnu Khaldun, 2000:132).
Khilafah adalah pemerintahan yang berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk agama, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, pemerintahan yang berlandaskan agama disebut dengan “khilâfah”, “imâmah”, atau “sultânah”, sedangkan pemimpinnya disebut “khalîfah” atau “imâm” atau “sultân”. Khalifah adalah pengganti Nabi Muhammad, dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia, lembaga imâmah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah, tetapi ada juga yang berpendapat, imâmah wajib karena akal/atau perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun, hukum wajibnya adalah FardKifâyah . Ibnu Khaldun menetapkan lima syarat bagi khalifah/imam/ sultan: (1) memiliki pengetahuan, (2) memiliki sifat-sifat adil, (3) mempunyai kemampuan (memimpin), (4) sehat fisik dan panca indra, (5) Keturunan Quraisy berdasarkan teori Asabiyyah
Menurut Ibnu Kaldun keturunan Quraisy memiliki keutamaan, yaitu orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemipin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar, solidaritas kelompoknya kuat, memiliki wibawah yang tinggi, maka tidak heran jika pemimpin agamanya dipercayakan pada suku Quraisy. Nabi menginginkan persatuan solidaritas dan persaudaraan (Ibnu Khaldun, 2000:191-193) Meski demikian jika solidaritas suku Quraisy lemah, maka dimungkinkan suku lain yang lebih kuat solidaritasnya pada saat itu.
d. Politik dan Ulama
Menurut Ibnu Khaldun, ada tiga bentuk pemerintahan dalam suatu Negara, yaitui: pertama, pemerintahan yang natural (siyâsah tâbi‟iyyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakat sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja lebih mementingkan keinginan nafsunya ketimbang rakyatnya. Akibatnya, rakyatnya tidak mau mentaati pemerintahannya, maka terjadilah teror, penindasan dan anarki. Pada zaman sekarang disebut pemerintahan otokratik; kedua, pemerintahan berdasarkan nalar (siyâsah „aqlîyah), yaitu, pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, dibuat oleh para cendekiawan. Pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan republik dan kerajaan institusional. Karena hanya mampu mewujudkan keadilan sampai batas tertentu; ketiga; Pemerintah berdasarkan agama (siyâsah dîniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan ketentuan agama baik yang bersifat keduniawian maupun ukhrawi. Model pemerintahan seperti ini menurut Ibnu Khaldun (2000:191) adalah pemerintahan yang berlandaskan agama Islam. Kepala negara disebut khalifah, imam atau sultan karena mereka harus berperan sebagai pengganti nabi dalam memelihara kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi dan rakyatnya. Imam sebagai pemimpin negara ibarat imam dalam salat yang harus diikuti oleh rakyat sebagai makmum.
Dari pembagian di atas, tampak bahwa Ibnu Khaldun menempuh jalur baru dibandingkan dengan Al-Farabi dan Ibnu Al-Kabi dalam mengklasifikasikan pemerintahan. Ia tidak memandang sisi personalnya juga bukan pada jabatan imam melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
e. Model Generasi Politik
Ibnu Khaldun juga memiliki gambaran tentang model generasi politik. Dalam hal ini menurut dia, ada tiga model generasi, yaitu (1) generasi pembangun yang dengan segala kesederhanaan di atas solidaritas yang tulus di bawah otoritas kekuasaan yang didukukungnya; (2) generasi penikmat, yaitu mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan Negara; dan (3) generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memperdulikan nasib negara jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga maka keruntuhan negara sebagai sunatullah sudah diambang pintu (Abdalla, 2008:172).
Menurut Ibnu Khaldun, ketiga model generasi ini ada secara bergantian dalam beberapa kali proses pemerintahan atau berada dalam rentang waktu sekitar satu abad. Sebuah peradaban besar dimulai generasi dari masyarakat yang telah di tempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup yang makmur dan terbatas dari kesusahan hidup ditambah dengan Asabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Kemudian diikuti dengan kemunduran peradaban (Abdalla, 2008:172). Tahapan-tahapan ini kemudian terulang lagi, dan begitu seterusnya. Berdasar ini pula, menurut Ibnu Khaldun, tidak ada status quo, karena keniscayaan proses sejarah manusia yang selalu berubah dan berputar.
f. Filsafat Sejarah
       Ibnu Khaldun memperkenalkan bahwa terjadinya keberlangsungan masyarakat nomaden dan masyarkat kota harus mengenal faktor-faktor penyebabnnya demikian pula terhadap kekacauan politik di dunia Islam masa itu. Dalam Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun menguraikan metodologi penelitian sejarah dan penjelasan sejarah umat manusia. Ibnu Khaldun tidak hanya sebagai pelaku sejarah tetapi juga ilmuwan sejarah yang dapat melahirkan teori-teori baru berdasarkan hasil penelitian empiris dan sangat metodologis.
Menurut Ibnu Khaldun (2000:173), hakekat sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia, tentang revolusi, dan pemberontakan oleh segolongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri adalah sunnatullah.
Ia menyadari bahwa penulisan sejarah sudah wataknya cenderung mengalami kebohongan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
·     semangat terlibatnya sejarahwan atau penulis sejarah kepada pendapat-pendapat atau mazhab-mazhab.
   akibat terlalu percaya pada orang yang menukilkan sehingga memerlukan personality criticism.
 ketidaksanggupan memahami maksud yang sebenarnya dari hasil observasinya.
 asumsi yang tak beralasan terhadap kebenaran sesuatu hal termasuk akibat terlalu percaya pada para penukil.
 ketidaktahuan tentang bagaimana kondisi-kondisi sesuai dengan realitas, disebabkan kondisi-kondisi itu dimasuki oleh ambisi-
ambisi dan distorsi-distorsi artifisial serta tidak mempunyai gambaran yang benar tentang kondisi-kondisi tersebut.
 adanya fakta bahwa kebanyakan manusia cenderung ingin dipuji atau kepentingan politik sehingga informasi yang disampaikannya cenderung tidak jujur.
 kebohongan sejarah yang tidak dapat dihindarkan adalah ketidaktahuan tentang berbagai watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban (Ibnu Khaldun, 2000:58-59).
Sehubungan dengan peradaban umat manusia, Ibnu Khaldun (2000:71) mengatakan organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan karena manusia adalah makhluk yang bersifat politis menurut tabiatnya. Menurut dia, tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak akan sempurna. Umat manusia memerlukan seorang yang akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka karena permusuhan dan kezaliman adalah merupakan watak hewani yang dimiliki oleh manusia. Senjata yang dibuat manusia untuk pertahanan dari serangan binatang tidaklah mencukupi bagi pertahanan terhadap serangan sesama manusia. Dan ini tidaklah mungkin datang dari luar. Oleh karena itu, dengan sendirinya orang yang akan melaksanakan kewibawaan itu haruslah seorang di antara mereka sendiri. Ia harus menguasai mereka dan mempunyai kekuatan dan wibawa melebihi mereka sehingga tak seorang pun di antara mereka sanggup menyerang yang lainnya dan inilah yang dinamakan kekuasaan (mulk) atau kedaulatan.

Pemikiran Ibnu khaldun tentang Filsafat Pendidikan
Menurut Ibn Khaldun pendidikan memiliki arti yang luas, pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Ibn khaldun juga mengatakan bahwa seseorang yang tidak terdidik oleh orang tuanya, oleh gurunya atau oleh orang-orang yang dianggap sesepuh di sekitarnya maka orang tersebut akan terdidik oleh alam dan zaman. Hal ini memiliki makna seseorang yang tidak mendapat pengajaran moral atau mengenai tata karma selama ia menjalin hubungan sosial dengan orang tua, gurunya atau sesepuh maka dia akan mempelajarinya dari alam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman.
Ibn khaldun juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia. Hal ini terlihat dari perilaku manusia, dimana manusia merupakan bagian dari binatang namun Allah SWT memberikan akal dan pikiran agar manusia berbeda dengan binatang lainnya lalu manusia dibekali pula dengan panca indera kemudian timbullah keinginan dari dalam diri manusia secara alami untuk mengetahui segalanya yang kemudian mendorongnya untuk mencari sumber yang dapat menjawab segala keingintahuannya. Hal inilah yang kemudian mendorong manusia untuk mempelajari suatu ilmu dengan sebenar-benarnya dan manusia pun meminta bantuan kepada orang-orang yang dianggap mampu untuk menjawab segala keingintahuannya dan inilah yang menimbulkan adanya pengajaran.
Tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun antara lain :
1.      Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan.
2.      Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.
3.      Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4.      Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
5.      Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran.
6.      Menyiapkan seseorang dari segi kesenian
  Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.    Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.    Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibn Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: Ilmu logika, Ilmu fisika, Ilmu metafisika dan Ilmu matematika.
Ibn Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.      Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.       Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)  
3.       Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibn Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.

0 komentar:

Posting Komentar